Pages

Si Kulit Putih dan Si Kulit Gelap

Kamis, 20 Januari 2011


Sudah 1,5 tahun saya menjalani olah raga lari. Setiap hari Minggu saya berlari bersama suami saya dan teman-teman yang hobby lari dari komunitas Indorunners. Pada dasarnya ini olahraga murah, siapa saja yang mau memulai, silahkan memulai. Cukup modal sepatu, kaus kaki, celana dan kaus, kita sudah bisa berlari. Bagi yang mau ikut lari bersama saya dan teman-teman dari Indorunners-pun (Indorunners memiliki account di Facebook maupun Twitter) tinggal berjanjian di bundaran HI atau depan FX hari Minggu. Gampang. Sehat itu menyenangkan, asal kita mau memulai.

Namun ada hal yang memang menjadi impact sejak saya berlari. Karena setiap hari Minggu saya berlari di udara terbuka, kulit saya jadi menggelap. Lari memang sebaiknya mulai jam 6 pagi atau jam 6:30. Diatas jam tersebut, matahari sudah panas. Tidak saja kulit menggelap, tapi membuat kita semakin mudah dehidrasi pada saat berlari, hingga stamina kita akan semakin terkuras.

Namun walaupun mulai jam 6:30, bisa saja saya berlari hingga jam 8:00 dimana matahari sudah muncul menyinari saya, dan karena saya tidak mau berhenti lari karena saya memiliki target jarak, saya harus lari dibawah matahari pagi tersebut. Lotion tabir surya yang saya dan teman-teman saya pakai tidak mempan. Itu hanya melindungi kulit dari dampak sinar yang membahayakan, namun tidak mencegah kulit menjadi gelap. Sayapun pernah memutuskan pakai t-shirt berlengan ditambah sleeves yaitu penutup lengan seperti pakaian muslim. Namun itu membuat saya dehidrasi karena terasa panas, padahal sleeves yang saya pakai dibuat oleh sebuah merek produk olahraga terkenal yang memiliki teknologi canggih dalam membuat teksturnya agar kulit tetap bisa bernapas.
“"Yang menentukan seseorang berperilaku baik atau tidak di masyarakat bukanlah warna kulit."”


Saya memutuskan tetap memakai tanktop sport, karena kulit saya bisa bernapas, saya tidak dehidrasi, stamina berlari tersimpan baik. Sampai sekarang saya masih mencari pakaian olahraga yang tertutup dan tidak membuat saya kepanasan dan dehidrasi, demi menghormati pendapat orang tua saya, bahwa menurut mereka saya lebih bagus, lebih cantik jika berkulit putih. Jika Anda lihat, para atlet pelari berpakaian minim juga mempunyai sebab-sebab yang sama. Perhitungan dehidrasi tubuh yang mempengaruhi stamina, keleluasaan bergerak yang mempengaruhi efektifitas berlari.

Fenomena kulit saya yang semakin menjadi sawo matang ini ternyata tidak disetujui orang tua saya, walaupun mereka tahu kulit saya menjadi sawo matang karena saya berlari, alias berolahraga. Merekapun tahu berolahraga adalah kegiatan yang posisitif. Orang tua saya kerap mengingatkan bahwa kulit gelap itu tidak bagus, tidak kelihatan cantik. Ini membuat saya berpikir terhadap standarisasi yang ada di masyarakat, mungkin saja dibentuk oleh sejarah budaya, pendidikan, aspek sosial, serta berbagai industri mulai dari industri kecantikan hingga industri hiburan, bahwa kulit putih lebih superior dibanding kulit gelap (apakah itu sawo matang atau berkulit hitam).

Saya sendiri tidak sependapat dengan pengklasifikasian kulit terhadap strata sosial dan standard kecantikan tertentu. Saya memiliki beberapa pendapat bahwa:

1. Kulit warna apapun bagus, selama itu sehat dan terawat. Kebalikannya, kulit warna apapun menjadi kurang menarik jika tidak sehat dan terawat. Itupun tergantung bagaimana seseorang mendadani dirinya, seseorang yang memiliki kemampuan berbusana dengan baik akan memiliki keterampilan memadupadankan style yang tepat untuk warna kulitnya

2. Melepaskan warna kulit dari strata sosial seseorang. Yang menentukan seseorang berperilaku baik atau tidak di masyarakat bukanlah warna kulit, tapi tingkat kesadaran manusianya itu sendiri, yang nantinya termanivestasi dalam semua tindakannya.

Namun apa yang terjadi disekeliling kita, warna kulit sering di identikan dengan:
1. Status ekonomi
2. Status sosial
3. Budaya
4. Pendidikan

Kenyataan tersebut ada dan masih berlangsung dalam berbagai konteks. Dan hal tersebut tidak bisa kita pungkiri, karena sejarah yang membentuk ekonomi,sosial, budaya, pendidikan setiap orang atau masyarakat, membentuk persepsi seseorang atau masyarakat tersebut. Sejarah di berbagai aspek membentuk cara pandang perindividu, maupun cara pandang kolektif.

Contohnya dalam dunia entertainment standard para bintang adalah berkulit putih. Standard dalam industri kecantikan contohnya, banyak produk pemutih. Dalam konteks yang lebih global kita mengetahui adanya diskriminasi kulit hitam dan kulit putih, yang kemudian diperjuangkan berbagai tokoh dunia bahkan hingga sekarang ini.

Disini saya hanya berbagi, bahwa hal ini terjadi dan masih terjadi. Bahwa dibalik topik warna kulit ini, ada hal-hal yang terbentuk mengakar, yang membentuk faktor persepsi seseorang terhadap warna kulit yang dianggap bagus oleh seseorang atau masyarakat.

Bahwa setiap orang memiliki kesukaan terhadap warna kulit tertentu tentu itu sah-sah saja, setiap orang memiliki selera berbeda. Namun jika hal tersebut sudah membuat kita bertindak diskriminatif dan membatasi cara pandang kita, mungkin saatnya kita pikirkan kembali.

Terlepas dari warna kulit, masih banyak ‘judul-judul’ lain dimana kita memberi label dan cap terhadap sebuah obyek tertentu, yang tanpa disadari membuat kita bertindak diskriminatif dan membatasi cara pandang kita.

Setiap manusia memiliki keunikan, setiap orang berhak mengolah diri dan bersinar atas keunikannya, dan berhak untuk dihargai atas keunikannya. Itu bisa terjadi hanya jika orang tersebut bisa memulai dengan menghargai diri sendiri.

0 komentar:

 
TheRealLivingDeal News 2 © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum